"Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya". (An-Nisa: 4).
Islam juga mengatur mahar wajib ditunaikan, meskipun nilainya tidak tinggi.
Seperti dikisahkan kala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan sahabatnya untuk mencari mahar yang memiliki nilai dan harga walaupun hanya cincin besi. Seperti dalam hadis berikut:
"Carilah walaupun hanya berupa cincin besi". (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun, besaran nilai mahar tidak ditetapkan oleh syariat. Artinya, mahar yang diberikan pengantin pria tidak mesti mahal atau bernilai tinggi, yang terpenting adalah saling sukarela di antara pasangan pengantin.
Para ulama juga bersepakat tidak ada batas maksimal terkait jumlah mahar. Namun, menurut Imam Syafi’i, Ahmad, Ishak, Abu Tsaur dan Fuqaha madinah dari tabiin, tidak ada batas minimal dalam semua pemberian mahar. Dengan kata lain, semua yang berharga dan bernilai boleh dijadikan mahar.
Namun demikian, Islam menganjurkan agar umat mengambil jalan tengah yaitu tidak meletakkan mahar terlalu tinggi dan tidak pula terlalu rendah atau disesuaikan dengan kemampuan.
Perlu diingat mahar yang berjumlah sedikit atau banyak adalah sama-sama sah.
Mahar diharapkan menjadi bentuk cinta yang diberikan suami kepada seorang istri dan menjadi salah satu hak dari pihak perempuan yang disyariatkan oleh Allah.
Mahar juga menunjukkan rasa kepatutan, kepantasan, harga diri, posisi, dan ukurannya sesuai dengan keridhaan kedua belah pihak.